Privatasasi BUMN, Bertentangan dengan Azaz Ekonomi Kerakyatan


Pendahuluan
Privatisasi atau dalam istilah lain divestasi BUMN, masih menjadi salah satu isu paling kontroversial dalam perekonomian Indonesia. di satu pihak, privatisasi masih diperlukan untuk membantu menutup financial gap APBN, terlebih ketika fikal kita tidak lagi “dikawal” IMF. [1] Pengertian Privatisasi Pada hakekatnya adalah melepas kontrol monopolistik Pemerintah atas BUMN. Akibat kontrol monopolistik Pemerintah atas BUMN menimbulkan distorsi antara lain, pola pengelolaan BUMN menjadi sama seperti birokrasi Pemerintah, terdapat conflict of interest antara fungsi Pemerintah sebagai regulator dan penyelenggara bisnis serta BUMN menjadi lahan subur tumbuhnya berbagai praktek Korupsi, Kolusi dan Nepotisme dan cenderung tidak transparan. Fakta membuktikan bahwa praktek KKN tidak ada (jarang ditemukan) pada BUMN yang telah menjadi perusahaan terbuka (go public).[2]
Kontroversi privatisasi BUMN juga timbul dari pengertian privatisasi dalam Pasal 1 (12) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 Tentang BUMN yang menyebutkan :
“Privatisasi adalah penjualan saham Persero, baik sebagian maupun seluruhnya, kepada pihak lain dalam rangka meningkatkan kinerja dan nilai perusahaan, memperbesar manfaat bagi negara dan masyarakat, serta memperluas pemilikan saham oleh masyarakat”.
Pada pasal tersebut dijelaskan bahwa privatisasi yaitu pernjualan saham sebagian dan seluruhnya, kata seluruhnya inilah yang mengandung kontroversi bagi masayarakat karena apabila dijual saham seuruhnya kepemilkan pemerintah terhadap BUMN tersebut sudah hilang beralih menjadi milik swasta dan beralih, namanya bukan BUMN lagi tetapi perusahaan swasta sehingga ditakutkan pelayan publik ke masyarakat akan ditinggalkan apabila dikelola oleh pihak swasta dan apabila diprivatisasi hendaknya hanya sebagaian maksimal 49% dan pemerintah harus tetap sebagai pemegang saham mayoritas agar aset BUMN tidak hilang dan beralih ke swasta dan BUMN sebagai pelayan publik tetap diperankan oleh pemerintah
Sebagaimana tercantum dalam UU BUMN, secara sederhana privatisasi BUMN dapat diartikan sebagai penjualan sebagian atau seluruh saham BUMN oleh pemerintah kepada para pemodal swasta. Dari pengertian privatisasi yang sangat sederhana itu, sepintas lalu memang tampak seolah-olah tidak ada hal yang perlu terlalu dirisauhkan. Tetapi bila dikaji secara cermat, akan segera diketahui bahwa pengertian privatisasi yang sangat sederhana itu sesungguhnya tidak hanya mencukupi, tetapi cenderung menyesatkan. [3]
Namun disisi lain, secara politis timbul resistensi hebat disana sini, sehingga kementrian BUMN kesulitan untuk merealisasikannya. Akibatnya, mereka tampak amat gamang untuk dapat mencapai target itu.[4] Dalam wacana akademik, fenomena privatisasi BUMN sudah mendapatkan perlindungan “payung” teori yang memadai. Beberapa argumen yang mendukung teori privatisasi BUMN didasarkan pada akar teori kegagalan pemerintah dalam mengelola perekonomian (Government Failure), teori Properti Right, hubungan Principal agent, dan masalah insentif. Paling tidak ada tiga teori paling klasik sebagai esensi dan urgensi dari privatisasi.[5]
Pertama, teori monopoli. Secara sederhana dikatakan bahwa BUMN dalam banyak kasus sering menimpa privelege monopoli . akibatnya, BUMN sering terjerumus menjadi tidak efisien karena hak istimewa ini. Penganjurnya antara lain Joseph Stiglitz dan Steve H. Hanke. Kedua, teori property right. Esensinya, perusahaan swasta dimiliki individu-individu yang bebas untuk menggunakan, mengelola, dan memberdayakan aset-aset privatnya. Konsekuensinya, mereka mendorong habis-habisan usahanya agar efisien. Property right swasta telah menciptakan insentif bagi terciptanya efisiensi perusahaan. Sebaliknya, BUMN tidak dimiliki oleh individual, tetapi oleh “Negar”. Dalam realitas, pengertian “Negara” menjadi kabur atau tidak jelas. Jadi, seolah-olah BUMN justru seperti “tanpa pemilik”. Akibatnya jelas. Manajemen BUMN menjadi kekurangen insentif untuk mendorong efisiensi. Ketiga, teori Principal Agent. Dalam teori ini diungkapkan bagaimana peta hubungan antara Principal (pemilik perusahaan, dalam hal BUMN adalah pemerintah) dan Agent (Perusahaan, yakni BUMN). Disektor swasta, manajemen perusahaan sebagai Agent sudah jelas loyal dan tunduk kepada pemilik atau pemegang saham(Shareholder). Sedangkan di BUMN, mau loyal kepada siapa? Disini kemudian nuansa”politisasi” menjadi kental, karena berbagai kepentingan politik aktif bermain, yang ujung-ujungnya BUMN tereksploitasi oleh para politisi. Para pengelola BUMN terpaksa harus “meladeni” para politisi, sehingga mengganggu ruang geraknya menuju efisiensi.[6]
Privatisasi BUMN dimulai pada tahun 1991, semen Gresik melepas 27% sahamnya ke pasar modal. Pada tahun 1994 disusul Indonesia Satelit yang melepaskan saham pemerintah ke pasar modal sebesar 10%. [7] pada tahun 2006 tujuh dari perusahaan penyumbang laba terbesar adalah perusahaan terbuka satu perusahaan yang telah diprivatisasi (melalui private placement), yaitu Telkom, BRI, PGN, BNI, Mandiri, Semen Gresik, dan Aneka Tambang (Antam). [8]
Kontribusi BUMN dalam pasar modal juga sangat signifikan, yang dicerminkan dari total kapitalisasi pasar 12 BUMN terbuka per 28 Desember 2006 yang mencapai Rp. 452,69 triliyun atau 36,82% total kapitalisasi pasar Bursa Efek Jakarta (BEJ). Artinya, pergerakan BUMN di pasar modal sangat mempengaruhui pergerakan saham dibursa.

Kinerja BUMN, Tbk 2004 - 2006
Uraian
Satuan
Tahun
2004 **)
2005
2006***)
Jumlah BUMN*)

13
8,6%
12
8,6%
12
8,6%
Kapitalisasi Pasar
Rp. T
239,16
36,3%
289,56
36,1%
452,69
36,82%
Nilai Perdagangan
Rp. T
62,44
29,2%
82,84
20,4%
151,67
34,5%
Volume Perdagangan
Miliyar saham
29,34
8,01%
32,11
8,0%
40,48
9,4%
Frekuensi Perdagangan
Kali
604,390
18,1%
778,347
19,4%
1.262.222
26,7%
*)     Termasuk PT. Indosat, dengan kepemilikan RI sebesar 15%
**)   posisi perminggu ke-2 Desember 2004
***) posisi perakhir Desember 2006
A      PERMASALAHAN
Dari penjelasan diatas tentunya kita perlu menganalisis poin-poin masalah yang akan dibahas dan solusi dari masalah-masalah itu. Berikut adalah poin-poin masalah yang akan dibahas :
1)       Apakah yang melatar belakangi terjadinya kontroversi Privatisasi BUMN di Indonesia?
2)       Bagaimana kaitannya dengan isu Ekonomi kerakyatan yang pernah digembar-gemborkan pada masa Kampanye Pemilu Presiden 2009 lalu?
Langkah-langkah apa saja yang harus pemerintah lakukan sebagai solusi dari masalah kontroversi Privatisasi ini?



[1] Sugiharto, Riyan Nugroho, dan Ricky, S, “BUMN Indonesia : isu, kebijakan, dan strategi” (Jakarta : Elex Media Komputindo, 2004)
[2] http://cafe-ekonomi.blogspot.com/2009/05/restrukturisasi-dan-privatisasi-bumn.html  (diakses 18 Nopember 2010)
[3] Revirsond Baswir, “Ekonomi Kerakyatan VS Neoliberalisme”, (Yogyakarta : Delokomotif, 2010) h.191 - 192
[4] “Ambiguitas Meliputi BUMN Kita” [Berita], kompas, 14 juni 2003.
[5] Djokosantoso Moeljono, “Reinvensi BUMN”, (Jakarta: Elex Media Komputindo, 2004) h.50
[6] Djokosantoso Moeljono, op. Cit.,
[7] Riyant Nugroho, & Randy Wrihatnolo, “Manajemen Privatisasi BUMN”, 2008 (Jakarta : Elex Media Komputindo)
[8] Riyant Nugroho, & Randy Wrihatnolo, Op, Cit., 

Pembahasan Hubungi Saya . . .
Tag : makalah
0 Komentar untuk "Privatasasi BUMN, Bertentangan dengan Azaz Ekonomi Kerakyatan"

Back To Top